TRADISI KEBUDAYAAN MANDI SAFAR DI KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR (SAMPIT)

     Sebelum saya menceritakan tentang kebudayaan saya dan orang tua saya, terlebih dahulu saya akan menjelaskan tentang pengertian budaya. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang yang di wariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Jadi kebudayaan hubungannya sangat erat dengan masyarakat. Melville J. Herskovits & bronislaw mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat di tentukan oleh kebudayaan yang di miliki oleh masyarakat itu sendiri.

     Meninjau asal usul kebudayaan orang tua saya, sebenarnya membingungkan karena merupakan campuran orang Banjar dan Dayak. Hubungan antara dua suku itu pada masa yang lalu dan masa kini adalah di percaya bahwa orang Banjar terbentuk dari proses percampuran antara suku Dayak dengan suku-suku pendatang ke Kalimantan Tengah. Orang Banjar umumnya memeluk agama Islam sedangkan orang dayak tidak beragama Islam. Namun di sini ayah dan ibu saya lahir di KalimantanTengah tepatnya  di daerah Bagendang Hulu, Kecamatan Mentaya Hilir Utara. Salah satu unsur kebudayaan yang ada di daerah Kalimantan tengah  khususnya di kabupaten Kotawaringin Timur (sampit) adalah Tradisi mandi Safar yang masih di jadikan agenda tahunan di Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) yang di laksanakan di Sungai Mentaya Sampit.

     Kegiatan budaya berupa Mandi Safar yang merupakan tradisi masyarakat yang mendiami tepian Sungai Mentaya, di ikuti oleh keluarga saya sebagai adat istiadat yang ada di masyarakat Kalimantan Tengah (Sampit). Tradisi kebudayaan berupa Mandi Safar di promosikan sebagai atraksi wisata kalteng. Budaya mandi Safar dijadikan objek wisata lantaran unik dan menarik. Budaya Mandi safar biasanya di laksanakan pada hari rabu terakhir dalam bulan Safar ( bulan kedua dalam kalender hijriah).

 

     Berdasarkan keterangan yang saya dapatkan dari orang tua saya, upacara Mandi safar di lakukan untuk mengenang dan mempengaruhi peristiwa mati syahidnya Husin bin Ali bin Abi Thalib yang pada waktu itu memimpin tentaranya berangkat ke Mekah kota khuffah dan juga di anggap untuk menghindari dari penyakit dan sebagai penolak bala bagi orang-orang yang mengikuti kegiatan Mandi safar tersebut.

     Masyarakat yang ingin mengikuti proses Mandi Safar, sebelum menceburkan diri ke dalam sungai Mentaya, telah membekali diri dengan daun sawang yang di ikat di kepala atau di pinggang. Daun sawang tersebut sebelumnya di rajah oleh seorang sesepuh atau alim ulama setempat. Karena menurut kepercayaan, pemakaian daun sawang itu agar orang yang mengikuti kegiatan mandi safar terjaga keselamatannya dari segala gangguan, baik gangguan dari binatang maupun makhluk halus. Setelah selesai mandi, masyarakat biasanya berkumpul di tempat acara yaitu Pelabuhan Sampit untuk bersama-sama membaca doa mohon keselamatan yang di pimpin oleh kia’i setempat. Selanjutnya masyarakat memperebutkan aneka makanan yang di bentuk seperti gunungan yang terdiri dari 41 macam jenis kue tradisional seperti cucur, apem merah, apem putih, wajik, ketupat burung, dll.

     Kegiatan mandi safar merupakan satu di antara atraksi budaya bernuansa agama yang akan terus di promosikan dan di jalankan  guna menambah perbendaharaan objek wisata Kalimantan Tengah yang dapat saya ceritakan. Jadi  menurut saya kebudayaan sangat mempengaruhi kehidupan seseorang karena kalau tidak di ikuti akan menimbulkan masalah bagi kita sendiri dalam suatu kelompok  masyarakat itu nantinya. Seperti halnya kata-kata kepuhunan yang ada atau tumbuh dalam lingkungan masyarakat sampit. Kata kepuhunan di sini dapat saya artikan sebagai “ apabila suatu makanan yang di tawarkan seseoarang tidak kita cicipi maka orang yang di tawarkan tersebut bisa mengalami  suatu bencana yang tidak di inginkan seperti kecelakaan, di gigit binatang, dll ”.

Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar